skip to main |
skip to sidebar
|
UTAMA |
|
ULASAN |
Di kota Bandung kini banyak dijumpai spanduk bertuliskan “underground berkabung”, menyusul pergelaran Band Beside di Asia Africa Cultural Centre (AACC) pada Sabtu malam 9 Februari 2008 yang berakhir mengenaskan, mengakibatkan 9 orang penonton tewas.
Peristiwa ini bukan pertamakali terjadi, tapi karena Beside adalah band yang mengusung musik underground, irama musik yang memprovokasi tubuh bergoyang secara bebas, maka banyak dibicarakan.
Kebetulan underground sebagai aliran musik yang “memberontak” terhadap musik pop, maka penampilan komunitas musik cadas ini sangat ekspresif, underground lambing kebebasan untuk berkesenian termasuk atribut yang melekat pada penampilan pemusik maupun penggemar nya.
Kita semua menyesalkan dan berduka cita yang sangat dalam atas meninggalnya 9 orang penonton Band Beside, tapi sangat berlebihan jika kesalahan itu ditimpakan terhadap musik underground.
Tidak hanya pertunjukan musik underground yang memicu kerusuhan, pertunjukan musik pop dan dangdut juga beberapakali memakan korban jiwa, bahkan kita masih ingat pergelaran penyanyi anak-anak pernah menyebabkan korban jiwa.
Pertandingan sepak bola juga sumber potensial kerusuhan, juga perhelatan politik seringkali menyebabkan kekacauan sosial.
Melarang pergelaran musik underground tentu bukan sikap yang bijak, apapun pertunjukan musiknya jika panitya penyelenggaranya siap dan memperhitungkan segala resiko yang akan muncul, pasti semua kesalahan akan dapat diantisipasi.
Jika dirunut lebih dalam lagi mengapa pihak pemerintah kota memberikan izin pertunjukan musik underground di gedung AACC, yang nota bene tidak layak untuk konser musik underground karena kapasitas penontonnya terbatas.
Korban telah jatuh dan semuanya anak-anak muda yang sebenarnya masa depannya masih panjang, yang kini perlu kita pikirkan bagaimana kedepannya.
Komunitas anak-anak muda penggemar musik underground yang banyak ditemui di Ujung Berung Bandung Timur , perlu mendapatkan perhatian, jangan dimusuhi apalagi dimatikan kreativitasnya, yang penting bagaimana mereka tetap berada dijalur anti narkoba dan miras.
Anak-anak muda itu sedang berproses membangun jati dirinya, para pejabat publik itu tentunya pernah mengalami masa muda, bahkan bisa jadi mereka dulu penggemar musik underground, jadi mestinya mereka lebih memahami gejolak jiwa anak-anak muda yang banyak ditemui di Ujung Berung itu.
Selengkapnya...
Di masa Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, Nelson Mandela termasuk sering berkunjung ke Jakarta, dan bertemu serta melakukan pembicaraan dengan penguasa orde baru itu.
Mungkin karena tertarik dengan budaya Indonesia, Nelson Mandela sering mengenakan baju batik dalam beberapa peristiwa internasional, secara tidak langsung Mandela telah mempromosikan batik ke dunia.
Pemimpin Afrika Selatan itu nampaknya hanya tertarik dengan batik saja, tapi sama sekali tidak tertarik dengan sistem politik Indonesia yang dibangun oleh orde baru.
Terbukti ketika Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan, ia hanya bersedia menjabat satu kali masa jabatan saja, dan untuk menjaga keutuhan bangsa ia meminta FW de Klerk mantan Presiden Afrika Selatan dimasa pemerintahan Apartheid, menjadi wakil presiden.
Mandela dipenjarakan selama 27 tahun oleh rezim apartheid, tapi demi keutuhan bangsa, demi masa depan rakyat Afrika Selatan, ia tidak memelihara dendam, justru ia membangun rekonsiliasi yang sebenar-benarnya.
Ketika akhirnya Mandela lengser, ia tetap dihormati oleh rakyat Afrika selatan sebagai Bapak Bangsa, bahkan dunia menaruh hormat kepada pejuang anti apartheid ini, ia memberikan inspirasi bagi mereka yang bercita-cita menjadi permimpin sejati.
Sebagai sebuah negara, Afrika Selatan tidak mengalami goncangan ekonomi yang berarti, meskipun mengalami transisi sejarah yang sangat luar biasa, penuh darah, air mata dan pelanggaran HAM berat.
Sebagai seorang pemimpin dan negarawan sejati Nelson Mandela telah berhasil “mengendalikan” rakyat Afrika Selatan khususnya warga kulit hitam, untuk tidak membabi buta membalas dendam kepada warga kulit putih yang telah mendzalimi mereka melalui politik apartheid selama bertahun-tahun.
Mandela membuka pikiran rakyat Afrika Selatan untuk menatap masa depan, dan membebaskan negara Afrika Selatan dari penjara dendam politik berkepanjangan .
Dunia mengakui Afrika Selatan kini menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat dan stabil, pada tahun 2010 mendatang mata dunia akan terfokus pada negeri ini karena terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan piala dunia sepak bola.
Berbahagialah rakyat Afrika Selatan memiliki pemimpin yang sangat pantas untuk diteladani, harus diakui bangsa Indonesia miskin pemimpin yang patut diteladani.
Suksesi kepemimpinan baik nasional maupun daerah di Indonesia selalu diwaranai dengan kerusuhan, darah, air mata dan dendam politik berkepanjangan.
Ketika Pak Harto “naik” menjadi Presiden menggantikan Bung Karno, ribuan jiwa menjadi korban, pembunuhan atas nama dendam politik berjatuhan, dan korban-korban juga bergelimpangan dimasa selanjutnya, ada yang melalui DOM, Petrus, Penculikan Mahasiswa dan Aktivis yang berseberangan dengan garis politik Pak Harto.
Jaman peralihan dari rezim orde baru ke reformasi juga tidak terlepas dari huru – hara yang mencekam, banyak gedung pertokoan dibakar, isinya dijarah, puluhan bahkan lebih orang mati . Para mahasiswa yang jadi mesin penggerak perubahan jaman, juga mengalami teror, beberapa diantaranya mati tertembus peluru aparat .
Sampai kini dalang kerusuhan mei 1998 itu belum terungkap, termasuk pelaku penembakan terhadap mahasiswa, semuanya masih gelap dan nampaknya ada yang membuatnya semakin gelap.
Jangankan peristiwa mei 1998 sedangkan peristiwa G 30 S/PKI dan Supersemar sampai kini tidak jelas dan semakin kabur, apalagi ketika sang tokoh utama meninggal dunia pada hari minggu 27 Januari 2008.
Ada yang mengangap suksesi kepemimpinan di Indonesia yang sering ricuh dan menimbulkan gejolak sosial politik, dianggap sebagai “dosa turunan” dari sejarah masa lampau kerajaan di Nusantara.
Sebenarnya kalau mau berpikir jernih ini hanya soal komitmen saja, para pemimpin dan elit politik kita, banyak yang mengedepankan kepentingan partai politik dan kekuasaan.
Meskipun dalam undang-undang, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih selama 2 kali berturut-turut, tapi alangkah indahnya jika para pemimpin hanya berpikir untuk satu kali masa jabatan saja.
Dengan demikian para pemimpin akan mencurahkan perhatiannya kepada kepentingan masyarakat, tidak lagi disibuk kan untuk persiapan kampanye 5 tahun berikutnya, guna mempertahankan kekuasaan.
Keteladanan seperti yang dilakukan Nelson Mandela memang sulit dilaksanakan, tapi dalam kondisi Indonesia seperti sekarang, masyarakat memerlukannya untuk membangun kepercayaan terhadap pemimpinnya, demi kemajuan bangsa.
Sekarang ini ditengah ancaman resesi dunia, harga minyak dunia melambung tinggi, bencana demi bencana masih mendera bangsa Indonesia, rakyat hanya disuguhi akrobat politik dan polusi janji memabukkan untuk menyongsong Pemilu tahun 2009.
Kita memang sangat memimpikan pemimpin yang konsisten terhadap kemajuan bangsa, bukan konsisten terhadap in-konsistensi ………………………….
Selengkapnya...