| UTAMA | | ULASAN |

27 Februari 2008

KETELADANAN NELSON MANDELA



Di masa Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, Nelson Mandela termasuk sering berkunjung ke Jakarta, dan bertemu serta melakukan pembicaraan dengan penguasa orde baru itu.
Mungkin karena tertarik dengan budaya Indonesia, Nelson Mandela sering mengenakan baju batik dalam beberapa peristiwa internasional, secara tidak langsung Mandela telah mempromosikan batik ke dunia.
Pemimpin Afrika Selatan itu nampaknya hanya tertarik dengan batik saja, tapi sama sekali tidak tertarik dengan sistem politik Indonesia yang dibangun oleh orde baru.
Terbukti ketika Mandela terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan, ia hanya bersedia menjabat satu kali masa jabatan saja, dan untuk menjaga keutuhan bangsa ia meminta FW de Klerk mantan Presiden Afrika Selatan dimasa pemerintahan Apartheid, menjadi wakil presiden.
Mandela dipenjarakan selama 27 tahun oleh rezim apartheid, tapi demi keutuhan bangsa, demi masa depan rakyat Afrika Selatan, ia tidak memelihara dendam, justru ia membangun rekonsiliasi yang sebenar-benarnya.
Ketika akhirnya Mandela lengser, ia tetap dihormati oleh rakyat Afrika selatan sebagai Bapak Bangsa, bahkan dunia menaruh hormat kepada pejuang anti apartheid ini, ia memberikan inspirasi bagi mereka yang bercita-cita menjadi permimpin sejati.
Sebagai sebuah negara, Afrika Selatan tidak mengalami goncangan ekonomi yang berarti, meskipun mengalami transisi sejarah yang sangat luar biasa, penuh darah, air mata dan pelanggaran HAM berat.
Sebagai seorang pemimpin dan negarawan sejati Nelson Mandela telah berhasil “mengendalikan” rakyat Afrika Selatan khususnya warga kulit hitam, untuk tidak membabi buta membalas dendam kepada warga kulit putih yang telah mendzalimi mereka melalui politik apartheid selama bertahun-tahun.
Mandela membuka pikiran rakyat Afrika Selatan untuk menatap masa depan, dan membebaskan negara Afrika Selatan dari penjara dendam politik berkepanjangan .
Dunia mengakui Afrika Selatan kini menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat dan stabil, pada tahun 2010 mendatang mata dunia akan terfokus pada negeri ini karena terpilih menjadi tuan rumah penyelenggaraan piala dunia sepak bola.
Berbahagialah rakyat Afrika Selatan memiliki pemimpin yang sangat pantas untuk diteladani, harus diakui bangsa Indonesia miskin pemimpin yang patut diteladani.
Suksesi kepemimpinan baik nasional maupun daerah di Indonesia selalu diwaranai dengan kerusuhan, darah, air mata dan dendam politik berkepanjangan.
Ketika Pak Harto “naik” menjadi Presiden menggantikan Bung Karno, ribuan jiwa menjadi korban, pembunuhan atas nama dendam politik berjatuhan, dan korban-korban juga bergelimpangan dimasa selanjutnya, ada yang melalui DOM, Petrus, Penculikan Mahasiswa dan Aktivis yang berseberangan dengan garis politik Pak Harto.
Jaman peralihan dari rezim orde baru ke reformasi juga tidak terlepas dari huru – hara yang mencekam, banyak gedung pertokoan dibakar, isinya dijarah, puluhan bahkan lebih orang mati . Para mahasiswa yang jadi mesin penggerak perubahan jaman, juga mengalami teror, beberapa diantaranya mati tertembus peluru aparat .
Sampai kini dalang kerusuhan mei 1998 itu belum terungkap, termasuk pelaku penembakan terhadap mahasiswa, semuanya masih gelap dan nampaknya ada yang membuatnya semakin gelap.
Jangankan peristiwa mei 1998 sedangkan peristiwa G 30 S/PKI dan Supersemar sampai kini tidak jelas dan semakin kabur, apalagi ketika sang tokoh utama meninggal dunia pada hari minggu 27 Januari 2008.
Ada yang mengangap suksesi kepemimpinan di Indonesia yang sering ricuh dan menimbulkan gejolak sosial politik, dianggap sebagai “dosa turunan” dari sejarah masa lampau kerajaan di Nusantara.
Sebenarnya kalau mau berpikir jernih ini hanya soal komitmen saja, para pemimpin dan elit politik kita, banyak yang mengedepankan kepentingan partai politik dan kekuasaan.
Meskipun dalam undang-undang, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih selama 2 kali berturut-turut, tapi alangkah indahnya jika para pemimpin hanya berpikir untuk satu kali masa jabatan saja.
Dengan demikian para pemimpin akan mencurahkan perhatiannya kepada kepentingan masyarakat, tidak lagi disibuk kan untuk persiapan kampanye 5 tahun berikutnya, guna mempertahankan kekuasaan.
Keteladanan seperti yang dilakukan Nelson Mandela memang sulit dilaksanakan, tapi dalam kondisi Indonesia seperti sekarang, masyarakat memerlukannya untuk membangun kepercayaan terhadap pemimpinnya, demi kemajuan bangsa.
Sekarang ini ditengah ancaman resesi dunia, harga minyak dunia melambung tinggi, bencana demi bencana masih mendera bangsa Indonesia, rakyat hanya disuguhi akrobat politik dan polusi janji memabukkan untuk menyongsong Pemilu tahun 2009.
Kita memang sangat memimpikan pemimpin yang konsisten terhadap kemajuan bangsa, bukan konsisten terhadap in-konsistensi ………………………….





Tidak ada komentar: