| UTAMA | | ULASAN |

18 Januari 2008

"DOSA" SEORANG WARTAWAN

Gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh dan Nias 26 Desember 2004 tercatat sebagai salah satu bencana alam yang dahsyat di bumi ini, ribuan orang meninggal dunia, infrastruktur kota luluh lantak, dihempas gempa dan diterjang tsunami.

Peristiwa mengenaskan itu menjadi “head line” media seluruh dunia, sehingga banyak jurnalis luar negeri meliput dilokasi bencana, hingga berhari-hari untuk memberitakan penderitaan maha berat yang dialami rakyat Aceh dan Nias.Tidak ketinggalan Televisi NHK Jepang, juga mengirimkan kru ke Indonesia, sebelum ke lokasi bencana mereka terlebih dahulu menemui sejumlah jurnalis Indonesia di Jakarta, untuk mencari masukan informasi sekaligus membuka akses.

Dalam kesempatan itu saya juga menceritakan pernah meliput tsunami di Flores pada tahun 1992, sambil memperlihatkan dokumentasi liputan saya yang kebetulan masih tersimpan dalam file pribadi.Kru NHK itu sangat tertarik kemudian minta agar saya bersedia diwawancarai untuk melengkapi liputan mereka.

Saya tentu saja bersedia, kapan lagi masuk televisi Jepang.Tapi keesokan harinya ketika saya diwawancarai oleh wartawan NHK, saya menyesal memenuhi permintaan mereka, karena saya tiba-tiba merasa bahwa selama ini ternyata saya adalah wartawan bodoh.

“Apa saja yang telah dilakukan anda untuk mensosialisasikan tentang apa itu tsunami ?”

“Maksud anda ?” Tanya saya kembali.

“Sebagai wartawan kita punya komitmen memberikan pengertian dan pendidikan melalui media kepada masyarakat termasuk tsunami, agar mereka paham sehingga memiliki persiapan untuk menyelamatkan diri, jika terdapat tanda-tanda tsunami selepas terjadi gempa.” Saya terhenyak, dalam diam.

“Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai potensitsunami, kalau saja sosialisasi itu sering diberitakan di media, palingtidak akan mengurangi jumlah korban, karena korban tsunami itu banyakyang tidak tahu tanda-tanda terjadinya gelombang tsunami?” lanjutnya.

Sampai wawancara berakhir saya masih merenung, ada rasa bersalah atau mungkin tepatnya berdosa, bahwa ternyata sebagai wartawan saya tidak memiliki kontribusi positif apa-apa terhadap masyarakat.

Ketika meliput bencana alam, huru-hara politik maupun krerusuhan sosial, yang saya kejar adalah berapa orang yang meninggal, gambar-gambar yang ditampilkan adalah gambar mayat yang bergelimpangan dijalanan. Darah dan darah ! sungguh mengerikan mengingat itu semua.

Saya teringat seorang Diplomat Perwakilan Tetap RI di PBB New York, bercerita ketika di layar TV ditayangkan gambar orang meloncat dari lantai atas Gedung WTC saat diledakkan oleh teroris dengan menabrakkan dua pesawat komersial yang mereka bajak, para orang tua protes. Pihak stasiun Televisi pun menyetop tayangan tersebut.

Saya juga teringat ketika Badai Katrina memporakporandakan New Orleans pada September 2005, di televisi tidak ada gambar sosok mayat yang bergelimpangan, tapi kita semua mahfum ada banyak korban tewas.Sebagai wartawan saya sering terjebak dengan berita-berita sensasional, akhirnya secara tidak langsung juga ikut menyumbang mempengaruhi masyarakat bahwa berita bencana kalau tidak ada darah bukan berita.

Akhir-akhir ini ketika menyaksikan pemberitaan di media cetak maupun elektronik tentang sakitnya Pak Harto di RSPP Pertamina, saya merenung sebenarnya yang ditunggu para wartawan di RSPP itu, apakah berita sembuhnya Pak Harto atau sebaliknya.

Saya berharap para jurnalis itu memang betul-betul sedang menunggu berita kesembuhan Pak Harto, karena kalau kebalikannya maka mereka mengulangi kebodohan saya, hanya mengejar sensasi !

Tidak ada komentar: