| UTAMA | | ULASAN |

21 Januari 2008

KAMBING HITAM MERATAPI TEMPE



Setiap hari almarhumah ibu saya, selalu menghidangkan tempe di meja makan, tidak heran jika hingga usia dewasa saya tidak bisa lepas dari lauk tempe, kalau di meja makan tidak ada tempe, rasanya ada sesuatu yang hilang. Jenis masakan tempe bermacam-macam ada tempe penyet, sayur lodeh, botok, mendoan, bacem, keripik dan masih banyak lagi.


Di kota kelahiran saya Malang, termasuk kota produsen tempe terkenal dan terenak menurut lidah saya, kebetulan rumah tinggal saya berdekatan dengan kampung Sanan, salah satu sentra produsen tempe. Saya masih mengenal jenis tempe selain tempe biasa yakni tempe kacang, tempe menjes, tempe bosok dan tempe bongkrek ( yg satu ini untuk pakan ternak ).

Tidak ada yang istimewa dari tempe ini. Karena saking kampungannya dan banyak dikonsumsi rakyat kecil maka seringkali tempe menjadi bahan olok-olok, yang paling terkenal adalah ungkapan Bung Karno “kita bukan bangsa tempe”. Sebagai penggemar berat tempe, saya tidak pernah mendeklarasikan secara terbuka, malu disebut kampungan.


Sejak Republik ini merdeka, tidak ada masalah dengan tempe, bisnis tempe tetap berjalan seperti biasa, meski sempat ada ramai sedikit dimedia ketika Jepang mendaftarkan hak paten sebagai negara pembuat tempe.Tapi karena kita bukan bangsa tempe maka isu tersebut lewat begitu saja, para produsen tempe yang kebanyakan pengusaha tradisional dan pastinya pengusaha kecil juga tidak memasalahkan, atau mungkin tidak tahu, jadi diam saja , yang penting tiap hari mereka berproduksi, yah business is usually.

Tapi tiba-tiba kita tersentak, ketika ribuan pedagang tempe melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka dan Gedung DPR pada hari senin 14 Januari 2008, mereka protes atas melambungnya harga kedelai, bahan baku tempe dan tahu.

Tiba-tiba kita baru terbangun dari mimpi, bahwa selama ini kita makan tempe impor, karena kedelai nya didatangkan dari Amerika Serikat, Brasil dan Argentina. Harga kedelai impor yang lebih murah dari kedelai lokal, menyebabkan petani kita enggan menanam kedelai.
Ketika negara pengimpor mengurangi produksinya tidak lagi menanam kedelai, terjadilah mala petaka itu. Pasokan kedelai berkurang dan harganya meroket, dampaknya perajin tempe menjerit, ongkos produksinya menjadi mahal, banyak yang terpaksa gulung tikar.
Jeritan pengusaha kecil ini menggetarkan Istana, menikam nurani wakil rakyat di DPR, dan yang lebih memilukan dikabarkan seorang penjaja gorengan bernama Selamet warga Kampung Cidemang , Pandeglang mengkhiri hidupnya dengan cara menggantung diri karena tidak tahan dikepung kenaikan harga.Masalah tempe ini menjadi isu disidang kabinet, wakil rakyat di DPR sibuk berteriak menekan pemerintah, para pengamat sibuk berteori, semuanya bersuara mencari kambing hitam pembuat onar harga kedelai.
Padahal kita memiliki Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Bulog. dan masih banyak institusi lainnya, tapi mengapa soal tempe saja kita harus sibuk cari kambing hitam.
Saya pikir Bung Karno benar kita memang bukan bangsa tempe, tapi bangsa kambing hitam.

Tidak ada komentar: