ANTARA TOKYO, LEIDEN, SINGAPORE & JAKARTA
1992 ; Angin musim semi berhembus pelan, dan nampak malas membelai dedaunan yang mulai menghijau memenuhi reranting pepohonan di sekujur jalanan Tokyo. Menurut ramalan cuaca yang tertera di dinding digital sebuah pertokoan di Ginza, 30 menit lagi hujan akan turun, saya bergegas menuju Hotel Imperial.
Menyoal Hotel Imperial ini, rekan saya wartawan NHK menyindir, seharusnya Pemerintah Jepang tidak perlu membantu Indonesia, karena orang Indonesia kaya buktinya rombongan pejabat beserta wartawan yang berkunjung ke Tokyo dalam rangka minta bantuan ekonomi malah menginap di Hotel super mewah ini.
Jalanan di samping hotel sangat padat ketika itu, saya melihat serombongan anak sekolah setingkat SD, berjalan mendahului langkah saya, ketika berada di pinggir Zebra Cross, dengan tenang mereka menyeberang tanpa rasa was-was, semua kendaraan berhenti meskipun tanpa dilengkapi lampu lalu lintas, saya pun bergegas mengikuti rombongan anak SD itu.
Ketika saya ceritakan pengalaman itu kepada rekan wartawan NHK, dia menjelaskan, “ sejak Taman Kanak-kanak, para guru dan orang tua mengajarkan bahwa kita harus tertib, disiplin, mematuhi peraturan dan hukum. Negara sudah menjamin kepastian hukum, sehingga tidak ada alasan bagi mereka takut menyeberang di Zebra Cross” .
1995 ; Udara kota Leiden Belanda tercatat 7 derajat celcius dibawah nol, kanal-kanal sudah membeku, orang-orang bergembira meluncur dengan sepatu es diatas kanal. Saya terpaksa keluar Hotel, mencari restoran cina, perut kampung ini harus diisi nasi baru terasa “nendang”.
Berjalan di bawah gerimis salju, deru angin seperti tusukan jarum menembus over coat, dingin memagut kulit, sementara butiran salju seperti kapas melayang di udara, sebagian membasahi wajah.
Jalanan Leiden masih lengang, ketika saya berada di tepi Zebra Cross , namun dari arah kanan nampak sebuah mobil meluncur cepat, saya berhenti menunggu mobil lewat. Akan tetapi sesampainya di Zebra Cross mobil itu berhenti, pengemudinya anak muda berambut gondrong menyilakan saya untuk menyeberang. Ketika saya balik menyilakan agar dia lewat saja, dia malah berkeras agar saya segera menyebarang.
Peristiwa itu saya ceritakan ke seorang teman, mahasiswa Universitas Leiden, dia menjelaskan Zebra Cross itu milik pejalan kaki, jadi jika pemiliknya akan lewat semua kendaraan harus berhenti, dan itu sudah menjadi bagian dari kepastian hukum di Belanda.
1997 ; Suasana teduh memayungi sepanjang Orchard Road Singapore, pepohonan rindang, menjala cahaya matahari musim kemarau dan daun-daunnya menyerap polusi yang mengotori langit negeri kecil ini.
Angin sejuk mengusap tubuh, saat saya berdiri dalam deretan antrean panjang, di halte tempat pemberhentian taksi, orang-orang antre sangat tertib. Banyak turis asal Indonesia ikut dalam antrean dan mereka juga sangat patuh.. Di Singapore memang serba teratur, kita tidak bisa seenaknya menyetop taksi dan bus, semua sudah ditentukan tempatnya.
Saya mendengar percakapan seorang turis asal Indonesia kepada kawannya yang juga ikut dalam antrean panjang ini, “ Wah ternyata kita bisa juga tertib ikuti peraturan ya padahal kalau di negeri sendiri kita ini amburadul “ ujarnya. Kawannya lalu menimpali, “ Iyalah kalau kita melanggar di Singapore ini tidak hanya soal pelanggaran hukum, tapi lebih dari itu kita nanti dicap sebagai manusia yang tidak berbudaya, disini budaya malu itu sudah sangat tinggi “
2008 ; Udara panas membakar Jakarta, meskipun hujan masih sering mengguyur namun hembusan angin masih belum mampu mengusir gerah, pohon-pohon rindang yang melindungi jalanan dari terik matahari, justru banyak ditebang oleh Pemerintah DKI demi proyek “Bus Way” dan pembangunan tiang pancang “Mono Rail” .
Sudah lama saya berdiri di pinggir Zebra Cross, lalu lintas sangat padat, mobil dan motor berebut jalan, melaju cepat.. Sejumlah pengendara motor mellintas diatas trotoar beberapa diantaranya memaki saya, karena terhalang oleh saya yang berdiri di trotoar. Sementara beberapa mobil dari jauh justru mengedip-ngedipkan lampu dan menambah kecepatannya, begitu tahu saya akan menyeberangi Zebra Cross.
Akhirnya saya putus asa, ketika ada taksi kosong melintas saya berhentikan,. Sopir taksi menyapa saya cukup ramah : “ mau ke mana Pak “, saya menyebut sebuah kantor Bank. Sopir taksi itu terkejut “ Lho kan lokasinya diseberang jalan ini Pak ? “
“Sudahlah Pak antar saya, memutar di bundaran depan sana, saya sudah hampir satu jam berdiri dipinggir Zebra Cross ! “ sergah saya.
Cape’ deh ……………
1992 ; Angin musim semi berhembus pelan, dan nampak malas membelai dedaunan yang mulai menghijau memenuhi reranting pepohonan di sekujur jalanan Tokyo. Menurut ramalan cuaca yang tertera di dinding digital sebuah pertokoan di Ginza, 30 menit lagi hujan akan turun, saya bergegas menuju Hotel Imperial.
Menyoal Hotel Imperial ini, rekan saya wartawan NHK menyindir, seharusnya Pemerintah Jepang tidak perlu membantu Indonesia, karena orang Indonesia kaya buktinya rombongan pejabat beserta wartawan yang berkunjung ke Tokyo dalam rangka minta bantuan ekonomi malah menginap di Hotel super mewah ini.
Jalanan di samping hotel sangat padat ketika itu, saya melihat serombongan anak sekolah setingkat SD, berjalan mendahului langkah saya, ketika berada di pinggir Zebra Cross, dengan tenang mereka menyeberang tanpa rasa was-was, semua kendaraan berhenti meskipun tanpa dilengkapi lampu lalu lintas, saya pun bergegas mengikuti rombongan anak SD itu.
Ketika saya ceritakan pengalaman itu kepada rekan wartawan NHK, dia menjelaskan, “ sejak Taman Kanak-kanak, para guru dan orang tua mengajarkan bahwa kita harus tertib, disiplin, mematuhi peraturan dan hukum. Negara sudah menjamin kepastian hukum, sehingga tidak ada alasan bagi mereka takut menyeberang di Zebra Cross” .
1995 ; Udara kota Leiden Belanda tercatat 7 derajat celcius dibawah nol, kanal-kanal sudah membeku, orang-orang bergembira meluncur dengan sepatu es diatas kanal. Saya terpaksa keluar Hotel, mencari restoran cina, perut kampung ini harus diisi nasi baru terasa “nendang”.
Berjalan di bawah gerimis salju, deru angin seperti tusukan jarum menembus over coat, dingin memagut kulit, sementara butiran salju seperti kapas melayang di udara, sebagian membasahi wajah.
Jalanan Leiden masih lengang, ketika saya berada di tepi Zebra Cross , namun dari arah kanan nampak sebuah mobil meluncur cepat, saya berhenti menunggu mobil lewat. Akan tetapi sesampainya di Zebra Cross mobil itu berhenti, pengemudinya anak muda berambut gondrong menyilakan saya untuk menyeberang. Ketika saya balik menyilakan agar dia lewat saja, dia malah berkeras agar saya segera menyebarang.
Peristiwa itu saya ceritakan ke seorang teman, mahasiswa Universitas Leiden, dia menjelaskan Zebra Cross itu milik pejalan kaki, jadi jika pemiliknya akan lewat semua kendaraan harus berhenti, dan itu sudah menjadi bagian dari kepastian hukum di Belanda.
1997 ; Suasana teduh memayungi sepanjang Orchard Road Singapore, pepohonan rindang, menjala cahaya matahari musim kemarau dan daun-daunnya menyerap polusi yang mengotori langit negeri kecil ini.
Angin sejuk mengusap tubuh, saat saya berdiri dalam deretan antrean panjang, di halte tempat pemberhentian taksi, orang-orang antre sangat tertib. Banyak turis asal Indonesia ikut dalam antrean dan mereka juga sangat patuh.. Di Singapore memang serba teratur, kita tidak bisa seenaknya menyetop taksi dan bus, semua sudah ditentukan tempatnya.
Saya mendengar percakapan seorang turis asal Indonesia kepada kawannya yang juga ikut dalam antrean panjang ini, “ Wah ternyata kita bisa juga tertib ikuti peraturan ya padahal kalau di negeri sendiri kita ini amburadul “ ujarnya. Kawannya lalu menimpali, “ Iyalah kalau kita melanggar di Singapore ini tidak hanya soal pelanggaran hukum, tapi lebih dari itu kita nanti dicap sebagai manusia yang tidak berbudaya, disini budaya malu itu sudah sangat tinggi “
2008 ; Udara panas membakar Jakarta, meskipun hujan masih sering mengguyur namun hembusan angin masih belum mampu mengusir gerah, pohon-pohon rindang yang melindungi jalanan dari terik matahari, justru banyak ditebang oleh Pemerintah DKI demi proyek “Bus Way” dan pembangunan tiang pancang “Mono Rail” .
Sudah lama saya berdiri di pinggir Zebra Cross, lalu lintas sangat padat, mobil dan motor berebut jalan, melaju cepat.. Sejumlah pengendara motor mellintas diatas trotoar beberapa diantaranya memaki saya, karena terhalang oleh saya yang berdiri di trotoar. Sementara beberapa mobil dari jauh justru mengedip-ngedipkan lampu dan menambah kecepatannya, begitu tahu saya akan menyeberangi Zebra Cross.
Akhirnya saya putus asa, ketika ada taksi kosong melintas saya berhentikan,. Sopir taksi menyapa saya cukup ramah : “ mau ke mana Pak “, saya menyebut sebuah kantor Bank. Sopir taksi itu terkejut “ Lho kan lokasinya diseberang jalan ini Pak ? “
“Sudahlah Pak antar saya, memutar di bundaran depan sana, saya sudah hampir satu jam berdiri dipinggir Zebra Cross ! “ sergah saya.
Cape’ deh ……………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar