| UTAMA | | ULASAN |

15 Januari 2008

Menyoal Nasionalisme Anak Muda

“ …….Hanya diwaktu malam sebelum tidur, saya selalu merasakan adanya kekosongan ! saya tak mempunyai seorang disampingku yang dapat melihat air mataku bercucuran, saya menjadi jengkel karena egoisme yang begitu besar dari beberapa orang yang mengaku pemimpin …………. “

Ini adalah petikan surat cinta dari Bung Tomo kepada isteri terkasihnya Sulistina, setelah ia menjadi politisi dan bertugas di Jakarta, meski sudah beristeri tapi ketika itu Bung Tomo ( salah seorang pejuang penting dalam peristiwa heroik 10 Nopember 1945 di Surabaya ) usianya masih relatif muda belum 30 tahun. Yang jadi pertanyaan adalah pernahkan kita menangisi kondisi Indonesia seperti Bung Tomo, menangisi Indonesia yang dipenuhi oleh pemimpin-pemimpin egois, menangisi nasib buruk Indonesia. Sudah lama anak-anak muda Indonesia sangat peduli terhadap kondisi bangsanya, sudah lama anak-anak muda Indonesia bercita-cita membangkitkan bangsanya demi kejayaan Negara, bahkan kemerdekaan ini terwujud atas dorongan semangat anak muda yang salah satu peristiwa monumentalnya adalah meneguhkan Sumpah Pemuda. Sejarah mencatatnya dengan tinta emas ! Lalu mengapa sekarang kita sibuk mempertanyakan seakan-akan bangsa ini kehilangan semangat anak muda, kehilangan generasi yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan nasional, mari kita lihat kembali sebagian kecil catatan sejarah kecemerlangan pemikiran anak muda Indonesia. Bung Hatta pada usia 19 tahun sudah berpikiran jauh ke depan, sekolah ke Belanda, meski belajar di Belanda ia justru semakin mengembangkan pemikiran nasionalismenya. Pada usia 25 tahun bersama Nehru, Bung Hatta diundang berceramah di Konperensi Liga Wanita Internasional Untuk Perdamaian dan Kebebasan di Gland Swiss. Judul Ceramah Bung Hatta ketika itu adalah “Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan”. Bung Karno sejak usia muda sudah menyerahkan hidupnya untuk berjuang, membakar semangat rakyat, perjuangan Bung Karno dibidang intelektual juga sangat mengagumkan, bahkan dalam usia 27 tahun Bung Karno sudah menulis buku yang sangat dahsyat dan kini menjadi acuan sejarahwan, “Dibawah Bendera Rovolusi”, yang setebal bantal. Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir adalah tokoh-tokoh muda cemerlang yang dimiliki bangsa Indonesia, Bung Karno menjadi Presiden dalam Usia 44 tahun, Bung Hatta menjabat Wakil Presiden dalam usia 43 tahun dan Bung Syahrir ketika menjabat sebagai Perdana Menteri berumur 36 tahun. Masih banyak tokoh-tokoh muda lainnya yang muncul sebagai pemimpin nasional, karena pada dasarnya sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah sejarah yang diukir oleh anak-anak muda. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas munculnya pertanyaan “ mengapa yang kini maju mencalonkan diri sebagai Presiden adalah orang-orang tua dan itu-itu saja ?” Dan usia mereka di atas 50 tahun semua, kemana anak-anak mudanya, mengapa mereka tidak berani muncul. Sebenarnya bukan soal berani dan tidak berani, negeri ini terutama di masa orde baru, sistem memang tidak memihak kepada generasi muda, ukuran anak muda disesuaikan dengan tafsir pemerintah, Sebagai contoh Abdul Gafur ketika diangkat sebagai Ketua KNPI berusia 35 tahun dan dia adalah anggota DPR dari Fraksi ABRI. (sekarang ia dalam usia menjelang 70 tahun masih berburu Jabatan Gubernur Maluku Utara, padahal ia pernah menjabat Menpora 2 periode dan jabatan politik lainnya). Jadi warna Pemuda di masa itu sangat bergantung kepada keinginan penguasa. Selama 32 tahun bangsa ini akhirnya tidak memberikan ruang yang luas bagi kemerdekaan berpikir para anak muda, sehingga mereka frustasi, jika ingin terjun ke politik maka pilihan partainya hanya tiga yakni Golkar, PDI dan PPP. Jika masuk PDI dan PPP dijamin masa depannya dipersulit. Sekarang hampir 10 tahun usia Reformasi, pertanyaan usang itu muncul lagi kemana anak-anak muda itu kok tidak ada yang muncul. Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga mantan Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri malah menantang anak muda, “ Sampai saat ini saya belum dengar yang muda maju. Jadi monggo, anak-anak muda saya tantang “ katanya dalam pidato HUT ke 35 PDIP di Jakarta. Lebih lanjut Bu Mega menekankan, “ Tidak ada salahnya mempunyai mimpi menjadi pemimpin di republik ini”. Ya memang tidak ada salahnya mimpi, tapi mimpi itu sudah menjadi mimpi di siang bolong, kita harus memaklumi para “orang tua” yang sekarang mencalonkan diri menjadi Presiden itu, tentu belum sepenuhnya rela memberikan ruang bagi anak-anak muda. Mereka ketika muda mengalami tekanan dan juga intimidasi oleh rezim represif di masa orde baru. Sebenarnya menilai prestasi anak muda bukan hanya dibidang politik saja, dibidang intelektual mereka juga memiliki prestasi yang mengesankan ada beberapa nama yang perlu mendapat perhatian bangsa ini diantaranya Johny Setiawan Phd yang bekerja sebagai Astronom di Institut Astronomi Max-Planck, Heidelberg Jerman yang telah menemukan planet ekstrasolar, nama Johny tercatat di Jurnal Ilmiah Inggris Nature. Nama-nama lain yang pantas dicatat adalah cendekiawan Yudi Latief, Eep Syaifllah Fatah dan masih banyak lagi. Di bidang Olah Raga ada Juara dunia tinju Christ John, juara dunia bulutangkis Taufik Hidayat, Pembalap remaja Doni Tata dan beberapa nama yang memenangkan medali emas olimpiade fisika tingkat dunia. Kita kaya dengan anak-anak muda berprestasi, termasuk di bidang politik, penulis teringat percakapan dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Bung Tifatul Sembiring, “ Saya ini adalah yang tertua di PKS “ jelasnya. “ memangnya berapa usia Bung Sembiring ? “ sergah penulis. “ 45 tahun “ jawabnya. Tidak usah resah soal tua dan muda bagi mereka yang berminat memimpin negeri ini, siapapun orangnya baik tua dan muda yang penting bagaimana komitmen mereka terhadap bangsa ini yakni, What can I do for My Country bukannya What can I get from My Country.

Tidak ada komentar: