Dalam suatu kesempatan penulis bertanya kepada mantan Presiden BJ Habibie, “Apakah Bapak masih berkomunikasi dengan Pak Harto ? “. Profesor Habibie sejenak terdiam dan mengambil nafas dalam, “ Terakhir saya berkomunikasi melalui telepon ketika Pak Harto ulang tahun pada tanggal 8 Juni 1998 ( ulang tahun ke 77 dan 18 hari setelah lengser –Red. ) selain mengucapkan selamat ulang tahun, saya juga ingin bertemu secara langsung “. Tapi Pak Harto menjawab, “ Sebaiknya kita tidak usah bertemu secara fisik, tidak menguntungkan bagi bangsa ini, kita cukup bertemu secara batin saja “ Wajah Profesor Habibie, Presiden ke tiga Republik Indonesia itu nampak sendu mengingat kali terakhir berkomunikasi dengan Guru, Bapak dan mantan Bosnya yang sering disebutnya sebagai Profesor sekaligus Guru Besar Politik . Penulis juga terkejut dengan cerita Pak Habibie itu, sebab pengalaman Penulis sebagai wartawan Istana ketika itu, setiap kali Pak Habinie selaku Menteri Riset dan Teknologi dipanggil Presiden Soeharto, selalu ditempatkan sebagai tamu terakhir. Penempatan sebagai tamu terakhir itu karena pertemuan keduanya berlangsung sangat panjang antara 2 hingga 3 jam, berbeda dengan tamu-tamu lainnya yang paling lama diterima Pak Harto sekitar 30 menit. Untuk itulah para wartawan Istana mewawancarai Pak Habibie sebelum diterima Pak Harto, jadi kebalikan dengan tamu atau menteri lainnya yang diwawancarai setelah diterima Pak Harto. Pak Habibie memaklumi ulah para wartawan tersebut, karena kalau menunggu dia keluar dari ruang kerja Pak Harto, pasti sudah sore dan melewati “dead line” sejumlah media, dan alasan lainnya tentu membosankan menunggu berjam-jam. Dari peristiwa itu sudah dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara Pak Harto dengan Pak Habibie sangat dekat bahkan dimasa itu ada sejumlah menteri yang tidak suka atau mungkin cemburu dengan kedekatan Pak Habibie tersebut. Salah satunya adalah seorang menteri yang sering terbata-bata jika bicara di layar televisi, secara terbuka ketika bersantai dengan para wartawan Istana di Press Room dia sering menyindir Pak Habibie, dengan kalimat-kalimat yang melecehkan meski dibungkus dengan canda. Mengingat kedekatan yang luar biasa tersebut bahkan Pak Habibie sempat diangkat sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar, maka wajar kalau penulis bertanya kepada Pak Habibie, sedekat apakah sebenarnya hubungan mereka berdua. Pak Habibie menjawab dengan sangat datar, terkesan ada kekecewaan dalam tarikan nafasnya, “ Ada tiga kategori tentang kedekatan dengan Pak Harto, yang pertama dekat dengan Pak Harto tapi tidak dekat dengan keluarga, yang kedua dekat dengan keluarga tapi tidak dekat dengan Pak Harto, yang ketiga dekat dengan Pak Harto juga dekat dengan keluarga” “ Pak Habibie masuk kategori yang mana ? “ kejar penulis, “ Saya termasuk yang pertama dekat dengan Pak Harto tapi tidak dekat dengan keluarga. Sebenarnya beberapakali saya minta waktu untuk bertemu dengan beliau, tapi mbak Tutut sepertinya tidak pernah mengizinkan, yah saya selalu memanjatkan doa kepada Pak Harto meski dari jauh “ keluh Presiden ke tiga Indonesia itu. Pak Harto memang sosok yang selalu menyimpan misteri, seorang Habibie pun ternyata tidak paham siapa Pak Harto sebenarnya, padahal hubungan mereka berjalan selama 24 tahun dalam Kabinet, bahkan Pak Harto akhirnya memilihnya mendampingi sebagai Wakil Presiden ( secara prosedural politik dipilih oleh MPR ), hingga akhirnya jalan sejarah mengantarkan Habibie menjadi Presiden menggantikan mentor politiknya itu, yang mengundurkan diri karena tekanan rakyat pada 21 Mei 1998. Dalam usia menjelang 87 tahun (lahir 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk Yogyakarta), tubuh tua Penguasa Orde Baru dan Jendral Besar Bintang Lima itu digerogoti sejumlah penyakit, kini ia terbaring lunglai di Rumah Sakit Pusat Pertamina, jantungnya lemah tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga memerlukan bantuan peralatan medis. Semua media tanah air menempatkan cerita sakitnya dihalaman muka dan menjadi head line, padahal banyak berita lain yang tidak kalah pentingnya bagi rakyat, banjir, penanganan korupsi, kasus sengketa pilkada, penanganan korban bencana alam, akan tapi berita Pak Harto sakit menjadi fokus liputan media. Tokoh-tokoh masyarakat para pejabat hingga Presiden SBY, meluangkan waktu untuk menjenguk Pak Harto, dan entah sengaja atau tidak, usai bezoek mereka memberikan keterangan pers kepada para wartawan, seakan peristiwa sakitnya Pak Harto itu merupakan kebutuhan informasi yang utama yang wajib diketahui masyarakat. Apakah dengan terbukanya informasi bahwa jantung Pak Harto lemah, Urine nya bermasalah, semua masalah bangsa ini selesai. Anehnya para politisi dan tokoh masayarakat itu tidak mengedepankan harapan dan doa agar Pak Harto sembuh, tapi riibut dan berebut ngomong di media agar bangsa ini memaafkan Pak Harto. Padahal Negara telah memperlakukan Pak Harto dengan sangat istimewa, menyediakan tim dokter Kepresidenan, dan semua biaya yang timbul menjadi tanggungan Negara (dibayar dari uang rakyat tentunya), sementara masih banyak rakyat kita yang terpaksa menahan derita karena tidak mampu membayar biaya perawatan rumah sakit. Jadi sebaiknya sebagai sesama manusia kita berdoa saja untuk kesehatan Pak Harto. Soal apakah Pak Harto bersalah, melakukan korupsi, pelanggaran Ham atau tuntutan hukum lainnya, sebaiknya serahkan ke lembaga hukum. Jangan dipolitisir, berikan keteladanan bernegara kepada rakyat. Lepas dari apapun Pak Harto memang masih menjadi sebuah misteri, kita yakin AM Fatwa yang pernah menjalani hukuman penjara politik di masa Pemerintahan Pak Harto, pasti mengalami siksaan baik fisik maupun psikologis, tapi ia tidak dendam bahkan memaafkan dan berdoa untuk bekas musuh politiknya itu. Gus Dur Presiden ke empat RI, yang kenyang dengan intimidasi di masa orde baru, dan dihalangi dalam pemilihan ketua NU, tidak dendam dan memaafkan Penguasa Orde Baru itu. Penulis pernah menyaksikan Gus Dur tidak boleh bicara di Istana, ketika Pengurus NU diterima Pak Harto . Termasuk ketika memberikan keterangan Pers di Press Room Istana, Gus Dur hanya diam. Pak Harto juga masih menyimpan banyak misteri tentang sejarah kebenaran bangsa ini, hingga kini kita tidak tahu dimana disimpan Surat Perintah Sebelas Maret dari Bung Karno yang diberikan kepada Pak Harto, apakah hilang atau dimusnahkan, masih tetap menjadi pertanyaan sejarah. Bagaimanakah cerita sebenarnya tentang G 30 S/PKI, apakah memang PKI adalah pelaku tunggal ataukah ada kekuatan lain yang ikut terlibat dan apakah peristiwa itu merupakan bagian dari kudeta merangkak Pak Harto untuk menggulingkan Bung Karno, semuanya masih gelap. Dan kegelapan itu akan terus dibawa oleh Pak Harto, usia uzur, ingatan yang lemah, tubuh renta dan digerogoti penyakit semakin menyadarkan kita bahwa bangsa ini akan kehilangan bagian dari kebenaran sejarah. Belum lagi tentang kasus hukum Pak Harto, semua hanya berwacana, Tap MPR tidak mampu menyeret Pak Harto apalagi memanggil paksa untuk dihadirkan di ruang persidangan, semua hanaya sekadar politik balsem, meredakan tapi tidak menyembuhkan.(IOT)
15 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar